23 Juni, 2007

FATWA TUKANG BECAK

Perjalanan ulang alik Yoga-Jombang biasanya kami (saya dan
saudara-saudari atau teman-teman) lakukan di paruh malam yang kedua.
Naik bis yang kecepatannya supir ngedap-ngedapi selama 4-5 jam, subuh
menyongsong kami di tempat tujuan. Terkadang malah hanya tiga setengah jam,
atau malah hanya beberapa kejapan saja - karena kami 'tewas' sepanjang
perjalanan.
Tak pernah terlintas ide di benak saya unuk mencoba menerapkan mekanisme
demokrasi di bis :
misalnya, semua unsur merundingkan berapa kecepatan bis sebaiknya. Saya
biasanya pasrah saja. Tak pernah melontarkan kritik kepada bagaimana sopir
menjalankan roda pemerintahannya. Tak perlu mengonrol. Paling hanya
evaluasi, yng toh saya 'peti-es' kan sendiri, tidak saya 'press release'
kan. demikianlah, malam itu, kami menunggu bis ke Solo atauYogya di
perempatan njomplangan atau teteg sepur dekat stasiun Jombang. Becak
berderet di sana, menunggu semacam janji hari depan, tanpa batasan siang
atau malam. Kami menunggu bis favori kami. tapi karena malam, tak bisa
langsung tampak bis apa yang akan lewat. Jadi satu-satunya jalan ialah
menjalankan semacam taktik atau srategi atau penipuan. Semua bis kami stop.
Kalau bis ternyata ke Kediri atau Ponorogo, kami jujur bilang "Ke Yogya"
Kalau yang lewat adalah bis ke Yogya tapi bukan favorit kami, kami berbohong
"Ke Ponorogo!" Demikian berlangsung berulang-ulang. Para tukang becak guyup
membantu kesibukan kami "memilih masa depan". Salah seorang tukang becak
bahkan berlaku seperti saudara kami sendiri: aktif menolong menyetop bis dan
mengobrol di setiap 'pause'. Dan ketika kemudian hujan mendadak turun, ia
mempersilakan kami berlindung di becaknya, sementara ia numpang di becak
sisinya. Hujan berkepanjangan. Tiba-tiba tukang becak itu nyeletuk: "Ya
inilah hukuman bagi orang yang berbohong!"
Kami terkesiap. Tak tahu mau berkata apa-apa. "Tapi memang kalau
meningkatkan taraf hidup memang harus pandai bohong" - ia melanjutkan -
"Kalau jujur saja nanti hanya dapat bis yang jelek dan lambat." Dan ia terus
melanjutkan - "Tapi ya untunglah Cak, Tuhan menghukum langsung, jadi nanti
di akhirat lebih ringan. Untung juga Tuhan masih mau menghukum, itu namanya
Dia tresno, kita tidak diujo saja..."
Kami benar-benar meenjadi bisu. Sambil akhirnya bis favorit itu tiba, si
tukang becak mempersilakan kami dan berkata - "Selamat tidur Cak!
Mudah-mudahan sudah lunas hukumnya!" Saya malah tak bisa tidur. Apa benar
sudah lunas? Apalagi keadaan hidup sekarang ini membuat dosa tak terasa
sebagai dosa.

Tidak ada komentar: